pada hari itu , ada seekor cicak yang hidup bertetangga dengan buaya.
Si cicak punya kebiasaan jelek. Sepanjang hari dia senantiasa tidak
pernah mensyukuri terhadap rezeki yang didapatnya. Meskipun dia
memperoleh rejeki yang besar tentu menggerutu, apalagi saat dia
mendapatkan rejeki yang sedikit dia selalu marah-marah. Cacian dan
sumpah serapah selalu keluar dari mulutnya. Terkadang ia menyalahkan
Tuhan karena diberi tubuh yang kecil. Apalagi kakinya diberi perekat,
sehingga ia tidak bebas berjalan di darat seperti teman-temannya.
Akibatnya, dia hanya bisa berjalan merayap di tembok-tembok dan
kesulitan mencari makanan.
Malam itu, ia pergi mencari makanan. Namun, sejak sore
hingga tengah malam ia tidak mendapatkan makanan sepotongpun. Ia terus
berkeliling ke setiap sudut tembok, namun sia-sia. Tidak ada sepotong
makananpun yang dijumpainya.
"Sialan," ia mulai menggerutu dalam hati. "Beginilah kalau kakiku dipenuhi perekat. Aku kesulitan mencari makan. Uuuuhhhh......dasar!"
Tidak jauh dari tempat si cicak, ada seekor buaya yang sejak
tadi memperhatikannya. Si buaya tersenyum melihat si cicak selalu
menyesali nasibnya. "Tidak seharusnya dia bersikap begitu. Tuhan
tidak pernah salah design. Tuhan menciptakan makhluk-Nya tentu sudah
disesuaikan dengan cara mendapatkan makanannya. ," pikir si buaya dalam hati.
"Hei, cicak...kenapa kamu selalu ngedumel begitu?" tanya si buaya. "Setiap hari tiada henti-hentinya kamu menyesali nasibmu. Kamu sama sekali tidak pernah bersyukur kepada Tuhan."
Si cicak tidak menjawab pertanyaan buaya. Sebaliknya, kedua
matanya menatap tajam ke sekeranjang makanan yang ada di hadapan buaya.
Air liurnya keluar membayangkan kesegaran makanan-makanan itu. Kemudian
ia mencoba mendekati si buaya, lalu mencoba merayu buaya untuk memberi
sedikit makanan yang ada di depannya.
"Wuah...makananmu banyak sekali, buaya," kata cicak. "Bagi-bagi dong...aku lagi kelaparan, nih."
"Hah...kamu minta makanan ini," jawab buaya. "Nggak boleh yaaa! Makanan ini bukan milikku. Aku
hanya disuruh menjaga saja. Aku tidak berhak memberikan pada siapapun.
Aku takut melanggar janji. Aku takut dianggap berkhianat. Aku takut
dosa, kawan," kata si buaya memberi alasan
"Yaa...minta
sedikit saja tidak boleh! Aku kelaparan, nih. Bukankah membantu teman
yang lagi kelaparan akan mendapat pahala. Ayo dong aku diberi sedikit
saja makanan di depanmu itu," demikian rayu si cecak.
"Waaahhh ya nggak bisa begitu, Cak! Amanah tetap amanah.
Kalau tidak boleh ya tidak boleh. Apapun alasannya. Kamu jangan membuat
aku melakukan perbuatan dosa, ya."
"Lhoooo...menolong teman yang sedang kelaparan kok dikatakan berbuat dosa ," kata Cicak terus merayu.
"Tapi makanan ini bukan milikku, Cak! Aku dilarang
memberikannya pada siapapun. Apapun alasannya. Itu saja. Jadi aku takut
melanggar sumpah. Apakah kamu tidak mengerti juga?"
Si cicak semakin sewot. Seluruh rayuannya tidak bisa mengubah
pendirian buaya. Ia masih mencari cara lain agar si buaya mau memberikan
makanan yang dijaganya.
"hehehehe...aku kagum terhadap sikap amanahmu, kawan," kata cecak memulai rayuannya. "Aku
harus belajar banyak kepadamu agar bisa menjadi makhluk yang punya
sikap amanah sepertimu. Tapi apakah kamu mau mengajariku, kawan?"
"Heemmmmm," si buaya mulai curiga terhadap perubahan sikap si cicak.
"Benar, buaya. Aku ingin belajar darimu. Aku ingin punya
pendirian kuat sepertimu. Aku ingin merobah sikapku yang salah. Aku
ingin bisa punya sikap amanah sepertimu. Aku ingin berubah, kawan."
Rupanya si Buaya mulai luluh hatinya. Ia mulai merasa iba
terhadap nasib si cecak. Ia percaya dan berpikir positif terhadap
perubahan sikap si cecak. Oleh karena itu, ia menyatakan bersedia
mengajari si cecak.
"Terima kasih, buaya. Terima kasih....ayo kita praktekkan sekarang saja yaaa.," kata si cicak kegirangan.
Si buaya terkejut mendengar kegembiraan si cecak dan ingin langsung mempraktekkan saat itu juga.
"Hah....mempraktekkanya sekarang?," kata si buaya keheranan. "Kok secepat itu kamu ingin belajar dariku?"
"Ya iyalah...khan aku kepingin secepatnya merobah sikap. Kalau ditunda-tunda nanti aku bisa berobah pikiran." kata si cicak.
Si buaya berpikir, kalau si cecak berubah pikiran tentu ia
tidak bisa lagi merobah sikap jeleknya. Nah, mumpung ia bersemangat mau
belajar maka ia menyetujui saja saran si cecak.
"Baiklah kalau begitu," kata buaya. "Kita mulai belajar darimana, kawan?"
Si cecak tertawa senang. Ia sebenarnya pura-pura belajar
merobah sikap. Tujuan sebenarnya adalah ingin menguasai makanan yang
dijaga si buaya. Dan ternyata akal liciknya mulai menemui keberhasilan.
Kemudian, ia menyarankan agar belajar menjaga makanan yang ada dihadapan
buaya.
"Begini, Buaya. Aku ingin belajar punya sikap amanah dengan
menjaga makanan itu. Kamu bisa mengawasiku dari jauh. Bukankah kamu
sudah lama menjaganya. Nah, sekarang kamu bisa istirahat. Biarlah
makanan-makanan ini aku yang menjaganya."
Sebenarnya ada sedikit keraguan di hati si buaya. Sebab dia
harus pergi meninggalkan makanan yang ia jaga. Namun, ia berpikir bahwa
tidak mungkin si cicak berbohong padanya. Ia hanyalah hewan kecil. Kalau
sampai berani berbohong maka si cecak akan dipukul dengan ekornya
sampai tewas.
"Tapi ada satu permintaanku, Cicak." kata si buaya. "
Bila sewaktu-waktu pemiliknya datang maka kamu harus berpura-pura
menjadi aku lho...kamu harus memegang amanah. Jangan suka berdusta." lanjut si buaya sambil pergi meninggalkan si cicak untuk mengawasinya dari kejauhan.
"Iyaaaa...iya... kawan," kata si cicak sambil berjalan ke keranjang makanan di depannya.
Si cicak tertawa dalam hati karena dia berhasil mengelabui si
buaya. Dia mulai merencanakan menghabiskan makanan di hadapannya. Namun,
ia masih menunggu saat yang tepat bila si buaya sudah pergi tidur.
Beberapa saat kemudian ketika si buaya benar-benar sudah
tertidur, lalu si cecak cepat-cepat mendekati makanan yang dijaganya.
Dia mulai memilih makanan yang terlezat untuk disantapnya. Namun, belum
sampai ia berhasil melaksanakan niatnya, datanglah seekor singa
mendekatinya.
Si singa berjalan sambil bernyanyi-nyanyi. "Hohoho...hihihi...hahahaha...huhuhuhuu...Pak Buaya aku datang...Pak buaya aku mau mengambil makananku," kata si singa.
Si cicak nyalinya menjadi ciut melihat kedatangan si singa. "Hah ...pemilik makanan ini ternyata Pak Singa?"
pikir si cecak ketakutan. Maka niat ingin menghabiskan makanan di
hadapannya akhirnya batal. Dia kini menjadi ketakutan menghadapi si
singa.Ia berniat mau melarikan diri, namun tubuhnya bergetar ketakutan.
Ia berpikir kalau sampai si singa tahu bahwa bukan si buaya yang menjaga
makanannya maka si singa akan marah besar. Dan ia ingat pesan si buaya
bahwa bila pemiliknya datang sewaktu-waktu maka ia harus berpura-pura
menjadi buaya.
"Tapi tubuhku kecil," pikir si cecak. "Lalu
bagaimana caranya agar aku bisa berpura-pura menjadi buaya dalam waktu
sesingkat ini? Aduuuuhhhhh....gawat si singa semakin dekat saja." kata si cicak makin resah dan ketakutan atas kedatangan si singa.
Si cicak semakin kebingungan. Dan tanpa pikir panjang ia
segera minum air sungai di hadapannya sebanyak-banyaknya agar tubuhnya
dapat membesar menyamai tubuh si buaya. Ia tidak memikirkan akibatnya.
Ia berusaha menyelamatkan diri dengan cara menyamai bentuk tubuh si
buaya.
Dan, rupanya usaha si cicak berhasil. Kini tubuhnya nampak
membesar berisi air. Tubuhnya sekilas nampak seperti tubuh buaya. Tapi,
akibat memaksakan diri minum air sebanyak-banyaknya membuat daya tahan
tubuhnya mulai melemah. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dan tidak
berapa lama tubuhnya mulai mengambang di permukaan air. Ia telah mati
sebelum bisa menikmati makanan yang dijaganya.
Sementara itu, si singa nampak senang melihat makanannya masih
utuh.Tidak ada secuil makanan pun yang hilang. Dia bangga dengan sikap
amanah si buaya dalam menjaga makanannya. Dia senang dengan kejujuran si
buaya. Untuk itu, si singa memberikan hadiah beberapa biji buah kepada
si buaya. Si buaya gembira menerima hadiahnya sambil terus memandangi
tubuh si cicak yang semakin menjauh terbawa arus sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar